Dewasa ini, pemakaian busana muslimah banyak macamnya. Malah, berkembang istilah “jilbab gaul” bagi perempuan yang mengenakan jilbab namun busananya ketat disana-sini. Karenanya, kali ini kita akan coba membahas pengertian jilbab (pakaian), dari sudut pandang para ahli tafsir dan pendapat para ulama. Pembahasan ini dikutip dari buku “Pakaian Wanita Islam Mengikuti Al Qur’an dan Sunnah”, karya H. Suhairy Ilyas, MA. terbitan Pustaka Al Mizan.
Pengertian Jilbab (Pakaian)
Secara terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita dapati pengertian jilbab seperti berikut :
- Lisanul Arab : “Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya.”
- Al Mu’jamal-Wasit : “Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya mantel.”
- Mukhtar Shihah : “Jilbab berasal dari kata Jalbu, artinya menarik atau menghimpun, sedangkan jilbab berarti pakaian lebar seperti mantel.”
Bagi masyarakat Indonesia, jilbab umumnya diartikan sebagai selendang yang menutupi kepala sampai leher dan dada. Definisi ini memang tidaklah bertentangan dengan definisi umum di atas karena disebutkan juga oleh Lisanul Arab ataupun Al Mu’jamal-Wasit dan dikutip Qurthuby berasal dari Ibnu Abbas yang mengartikan jilbab dengan rida’ atau selendang.
Pembahasan Ahli Tafsir
Setelah mempelajari pengertian umum dan pengertian secara terminologi tentang jilbab ada baiknya juga kita merujuk uraian para ulama tafsir mengenai jilbab, atau penafsiran mereka tentang surah Al Ahzab ayat 59:
- Tafsir Ibnu Abbas : “Selendang atau Jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.”
- Tafsir Qurthuby : “Allah SWT memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperagakan tubuh dan kulitnya kecuali dihadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”
- Tafsir Ayatul Ahkam : “Memakai jilbab atau kerudung merupakan ibadah dalam rangka memenuhi firman Allah Surah AL Ahzab ayat 59. Yang menegaskan bahwa bagi seorang Muslimah memakai jilbab itu sebanding dengan melaksanakan perintah sholat, karena keduanya sama-sama diwajibkan Al Qur’an. Apabila seorang muslimah menolak untuk memakai jilbab atau menutup auratnya, dan dengan sengaja untuk menentang hukum Allah, berarti dia telah kafir atau murtad, karena menentang Al Qur’an. Apabila dia meninggalkan jilbab karena ikut-ikutan atau karena kelalaian belaka, dia termasuk orang-orang durhaka kepada Allah.”
- Tafsir Fii Zhilalil Qur’an : “Allah memerintahkan kepada isteri-isteri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan mengurungkan niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat dan mulia secara islam.”
Kesimpulan
Dari uraian ulama tafsir di atas dapat kita simpulkan bahwa :
- Para ulama tafsir umumnya sependapat bahwa memakai jilbab menutupi aurat selain muka dan telapak tangan merupakan kewajiban yang mendasar bagi setiap kaum muslimah, apabila mereka akan keluar rumah, atau dalam rumah sendiri jika ada tamu selain muhrim.
- Tidak seorang pun para ulama yang berpendapat bahwa menutup aurat selain muka dan telapak tangan itu hanya kewajiban muslimah dalam sholat. Karena memang tidak ada satu pun dalil Al Qur’an dan Sunnah yang mengatakan demikian.
- Bentuk atau fashion pakaian muslimah tidaklah diatur oleh Al Qur’an secara terperinci, yang utama adalah memenuhi syarat, yaitu menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis dan juga tidak membentuk lekuk tubuh (ketat).
Firman Allah SWT : “Dan katakanlah (pula) kepada wanita yang beriman supaya mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kehormatannya. Dan janganlah memperlihatkan perhiasan kecuali yang biasa nampak saja, dan hendaklah mereka menutupi dada dengan selendang. Dan janganlah memperlihatkan perhiasan kecuali kepada : 1. Suami, 2. Ayah, 3. Mertua laki-laki, 4. Anak Laki-laki Tiri, 5. Saudara laki-laki, 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki dan perempuan 7. Sesama wanita, 8. Hamba Sahaya, 9. Pelayan (laki-laki) yang sudah tidak mempunyai keinginan kepada wanita (karena sudah tua), 10. Anak laki-laki yang belum terpengaruh dengan aurat wanita. Dan janganlah mereka (wanita) menghentakkan kaki supaya diketahui orang perhiasan mereka yang tersembunyi dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An Nur, 024:031)
Dalam ayat ini antara lain Allah memerintahkan pada kaum muslimah :
- Agar tidak memamerkan perhiasan kecuali sekadar yang biasa terlihat darinya seperti cincin dan gelang tangan.
- Wajib menutupi dada dan leher dengan selendang, kerudung atau jilbab.
- Perhiasan hanya boleh diperlihatkan kepada sepuluh kelompok manusia yang disebutkan dalam ayat tersebut diatas.
- Jangan sengaja menghentakkan kaki agar diketahui atau didengar orang agar diketahui atau didengar orang perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki dan lain-lain)
Pendapat Para Ulama
1. Ibnu Jarir At-Tabary (Wafat 310 H)
Kaum wanita tidak boleh memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan muhrim, kecuali perhiasan zahir saja. Perhiasan itu ada dua macam, pertama yang tersembunyi seperti gelang tangan atau kaki, subang dan kalung. Kedua, yang nampak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama, antara lain ada yang berpendapat perhiasan yang nampak yaitu pakaian. Yang lainnya berpendapat perhiasan zahir adalah cincin, sipat mata (eye liner) dan muka. Sedangkan yang lainnya lagi berpendapat, perhiasan yang nampak adalah muka dan telapak tangan.
2. Ibnu Araby (468-543 H)
Perhiasan ada 2 macam, asli dan buatan. Yang asli seperti muka yang merupakan induk sumber hiasan kecantikan. Dan hiasan buatan seperti pakaian, make up atau alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Ada perbedaan pendapat ulama tentang hiasan yang nampak. Pendapat pertama, yaitu pakaian (Ibnu Mas’ud), kedua yaitu celak dan cincin (Ibnu Abbas), ketiga yakni muka dan tapak tangan.
3. Ibnu Katsir (Wafat 774 H)
Seorang wanita muslimah tidak dibolehkan memperlihatkan perhiasan kepada kepala laki-laki yang bukan muhrim, kecuali perhiasan yang susah untuk menutupinya seperti selendang dan baju (mengikut Ibnu Mas’ud) dan menurut Ibnu Abbas, muka dan kedua telapak tangan serta cincin.
Demikianlah yang disimpulkan dari pendapat para ulama tafsir tentang aturan dan hukum tentang perhiasan atau bagaimana tubuh wanita yang boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrim, umumnya mereka berpendapat bahwa yang boleh terlihat pada tubuh wanita hanyalah muka dan telapak tangan serta perhiasan yang melekat pada keduanya. Batasan demikian dirujuk kepada hadits Nabi SAW yang berbunyi :
“Diceritakan oleh Siti Aisyah r.a., bahwa adiknya yang bernama Asma binti Abu Bakar pernah datang menghadap Rosulullah dengan berpakaian agak tipis, lalu Rosulullah berpaling dan bersabda, ‘Wahai Asma, bila seorang wanita telah baligh tidak boleh lagi terlihat kecuali ini dan ini. Lalu Rosulullah SAW menunjukkan pada muka dan tapak tangan beliau.” (H.R. Abu Dawud)
“Aisyah Ummul Mukminun r.a., menceritakan pada suatu hari saya pernah keluar rumah untuk menemui anak saudaraku Abdullah bin Taufalid dengan memakai perhiasan, lalu Rosulullah SAW marah, maka aku jawab, bukankah dia hanya anak saudaraku wahai Rosulullah? Dan beliau pun menjawab, apabila seorang wanita telah baligh (datang haid) tidak halal terlihat dari tubuhnya kecuali muka dan ini. Kata beliau, seraya menggenggam pergelangan tangannya dengan meninggalkan jarak satu genggaman pula dengan telapak tangan” (H.R. Ath Thabary)
Kesimpulan
Dari rujukan Al Qur’an dan hadits yang kita sebutkan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa :
- Pakaian Wanita Muslimah itu wajib menutupi aurat,
- Batas aurat wanita adalah muka dan tapak tangan,
- Kewajiban menutupi aurat itu berlaku setiap waktu di dalam dan di luar sholat, karena tidak satupun dalil yang mengatakan bahwa aurat wanita hanya ditutupi waktu sholat. Dan ayat Al Qur’an serta hadits di atas hubungannya bukan dalam hal sholat, tapi berlaku umum.Lanjutan; klik disini